Rabu, 04 Februari 2015

Kisah Tabi’in: al Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar Ash-Shiddiq



Kisah Tabi’in: al Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar Ash-Shiddiq
Sudah sampaikan berita kepada Anda tentang tabi’in yang agung ini? Seorang  pemuda yang terkumpul pada dirinya pujian dari segala sisi, tak satupun pujian luput darinya.
Ayahanda beliau adalah Muhammad bin Abu Bakar Ash-Shiddiq, ibunya adalah putri Yazdajir, raja Persia yang terakhir. Sedangkan bibinya dari pihak ayah adalah Aisyah r.a., Ummul Mukminin. Di samping itu, di atas kepalanya telah bertengger mahkota takwa dan ilmu. Adakah diantara Anda masih mengira ada kemenangan yang lebih tinggi dari kemenangan yang semua orang bersaing dan berlomba mendapatkannya hal ini?
Dialah Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar Ash-Shiddiq, satu dari tujuh fuqaha Madinah, yang paling utama ilmunya pada zamannya, yang tajam kecerdasan otaknya dan yang bagus sifat wara’nya. Marilah kita buka lembaran hidupnya dair awal.
Al-Qasim bin Muhammad lahir pada akhir pada akhir masa khilafah Utsman bin Affan. Seiring dengan tumbuh dan berkembangnya anak ini, badai fitnah semakin dahsyat menerpa kaum muslimin. Hingga mengakibatkan terbunuhnya khalifah yang zuhud, ahli ibadah, Dzun Nurain Utsman bin Affan sebagai syuhada, sedangkan Al-Qur’an berada pada dekapannya.
Tak lama setelah itu muncul sengketa besar antara Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib r.a. dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyan bin Harb, gubernur untuk wilayah Syam. Dalam rangkaian keadaan genting dan peristiwa-peristiwa yang mencekam itu, anak tersebut mendapati dirinya bersama adik perempuannya dibawa dari Madinah ke Mesir, menyusul kedua orang tuanya. Ayahnya diangkat menjadi gubernur Mesir oleh khilafah Ali bin Abi Thalib r.a.
Di kota ini ia harus menyaksikan cakar-cakar fitnah yang mencengkram semakin besar sampai akhirnya ayah beliau meninggal dengan cara yang kejam. Selajutnya beliau pindah lagi dari Mesir kembali ke Madinah setelah kekuasaan dipegang oleh Muawiyah. Kini dia yatim piatu. Al-Qasim bercerita tentang perjalanan hidupnya yang serat dengan penderitaan itu.
“Setelah terubunuhnya ayah di Mesir, pamanku, Abdurrahman datang untuk membawa aku dan adik perempuanku ke Madinah. Setibanya di kota ini, bibiku, ummul mukmininl mengutus seseorang mengambil kami berdua untuk dibawa ke rumahnya dan dipelihara  di bawah pengawasannya.
Ternyata belum pernah saya menjumpai seorang ibu sekaligus ayah yang lebih baik dan lebih besar kasih sayangnya daripada beliau. Beliau menyuapi kami dengan tangannya, sedang beliau tidak makan bersama kami. Bila tersisa makanan dari kami barulah beliau memakannya. Beliau mengasihi kami seperti seorang ibu yang masih menyusui bayinya. Beliau yang memandikan kami, menyisir rambut kami, memberi pakaian-pakaian yang putih bersih. Beliau senantiasa mendorong kami untuk berbuat baik dan melatih kami untuk melakukan hal itu dengan teladannya. Beliau melarang kami melakukan perbuatan jahat dan menyuruh kami meninggalkannya jauh-jauh. Beliau pula yang mengajar kami membaca Kitabullah dan meriwayatkan hadits-hadits yang bisa kami pahami. Di hari raya, bertambahlah kasih sayang dan hadiah-hadiahnya untuk kami. Di setiap senja di hari Arafah, beliau memotong rambutku, memandikan aku dan adik perempuanku. Pagi harinya kami diberi baju baru kemudian aku disuruh ke masjid untuk shalat ‘ied. Setelah selesai, aku dikumpulkan bersama adikku kemudian kami makan daging udhiyah.
Suatu hari beliau memakaikan baju berwarna putih untuk kami. Kemudian aku didudukkan di pangkuannya yang satu sedangkan adikku di pangkuannya yang lain. Paman Abdurrahman datang atas undangannya. Lalu bibi Aisyah mulai berbicara, dimulai dengan pujian kepada Allah, sungguh aku belum pernah mendengar sebelum dan sesudahnya seorangpun baik laki-laki maupun perempuan yang lebih fasih lisannya dan lebih bagus tutur katanya dari beliau. Beliau berkata kepada paman, “Wahai saudaraku, aku melihat sepertinya anda menjauh dari saya sejak saya mengambil dan merawat kedua anak ini. Demi Allah, saya melakukannya bukan karena saya lancang kepada Anda, bukan karena saya menaruh buruksangka kepada Anda dan bukan pula lantaran saya tidak percaya bahwa Anda dapat memenuhi hak keduanya. Hanya saja Anda memiliki istri lebih dari satu, sedangkan ketika itu kedua anak kecil ini belum bisa mengurus dirinya sendiri. Maka saya khawatir bila keduanya dalam keadaan yang tidak disukai  dan tidak sedap dalam pandangan istri-istrimu. Sehingga saya merasa lebih berhak untuk memenuhi hak keduanya ketika itu. Namun sekarang keduanya sudah beranjak remaja dan telah mampu mengurus dirinya sendiri, maka bawalah mereka dan aku serahkan tanggung jawabnya kepada Anda.” Begitulah, akhirnya pamanku memboyong kami ke rumahnya.
Hanya saja, hati anak keturunan Abu Bakar ini masih terpaut dengan rumah bibinya, Aisyah. Rindu terhadap lantai rumah yang bercampur dengan kesejukan nubuwat. Dia berkembang dan terpelihara oleh wanita pemilik rumah itu, dia kenyang dalam kasih sayangnya. Oleh sebab itu, dia membagi waktunya antara rumah bibi dan pamannya.
Rumah bibinya betul-betul berkesan di hatinya. Ligkungan yang sejuk itu menghidupkan sanubari selama hayatnya. Simaklah kesan-kesan yang melekat di hatinya.
“Suatu hari aku berkata kepada bibiku Aisyah, “Wahai ibu, tunjukkan kepadaku kubur Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kedua sahabatnya, aku ingin sekali melihatnya.”
Tiga kubur itu berada di dalam rumahnya, ditutup dengan sesuatu untuk menghalangi pandangan. Beliau memperlihatkan untuk kami tiga buah makam yang tidak digundukkan dan tidak pula dicekungkan. Ketiganya ditaburi krikil merah seperti yang ditaburkan di halaman masjid. Saya bertanya, “yang mana makam Rasulullah?” Beliau menunjuk salah satu darinya, “Ini.” Bersamaan dengan itu, dua butir air mata bergulir lembut di pipinya, tetapi segera di sekanya agar aku tak melihatnya. Makam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu agak lebih maju dari makan kedua sahabatnya.
Saya bertanya lagi, “Lalu yang mana makam kakekku, Abu Bakar?” Sambil menunjuk satu kubur beliau berkata, “Yang ini.” Kulihat makam kakekku sejajar dengan letak bahu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam aku berkata, “Yang ini makam Umar?” beliau menjawab, “Benar.”
Aku melihat kepala Umar sejajar dengan jari-jari kakekku, sesui dengan arah kaki Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Menginjak remaja, cucu Abu Bakar ini telah hafal Kitabullah dan menimba hadits-hadits dari bibinya, Aisyah sebanyak yang dikehendaki Allah. Dia tekun mendatangi Al-Haram Nabawi dan duduk dalam halaqah-halaqah ilmu yang terhampar di setiap sudut-sudut masjid laksana bintang-bintang gemerlap yang bertaburan di lagit yang terang.
Beliau menghadiri majlisnya Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Zubair, Abdullah bin Ja’far, Abdullah bin Khabbah, Rafi’ bin Khudaij, Aslam pembantu Umar bin Khattab dan sebagainya. Hingga pada gilirannya beliau menjadi imam mujtahid dan menjelma menjadi manusia yang pandai dalam hal sunnah pada zamannya, di mana ketika itu seseroang belumlah dianggap sebagai tokoh sebelum dia mendalami sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Setelah sempurna perlengkapan ilmu pemuda yang merupakan cucu Abu Bakar ini, orang-orang banyak belajar kepadanya dengan penuh perhatian. Sementara beliau memberikan ilmunya tanpa pamrih atau jual mahal. Beliau tak pernah absen untuk pergi ke masjid Nabawi setiap hari lalu shalat dua rakaat tahiyatul majid kemudian duduk di bekas tempat Umar r.a di Raudhah, yakni tempat antara kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mimbarnya. Selanjutnya berkumpullah murid-muridnya dari segala pejuru untuk meimba ilmu dari sumber yang segar dan bersih, melegakan jiwa yang haus akan ilmu.
Tidak membutuhkan waktu lama, akhirnya Al-Qasim bin Muhammad dan putra bibinya, selain Salim bin Abdullah bin Umar, menjadi dua imam Madinah yang terpercaya. Keduanya menjadi tokoh yang ditaati dan didengar tutur katanya kendati keduanya tidak memiliki wilayah kekuasaan dan jabatan. Masyarakat mengangkat keduanya karena sifat taqwa dan wara’nya. Juga karena pusaka yang ada di dalamnya dadanya berupa ilmu dan pemahamannya, ditambah lagi karena sifat zuhudnya terhadap apa yang dimiliki oleh manusia serta berharap banyak terhadap apa-apa yang ada di sisi Allah.
Martabat keduanya mencapai puncaknya hingga khalifah-khalifah Bani Umayah dan para bawahannya hormat kepadanya. Penguasa-penguasa tersebut bahkan tidak pernah memutuskan suatu masalah yang pelik kecuali setelah mendengarkan pendapat kedua ulama tersebut.
Sebagai contoh, ketika Al-Walid bin Abdul Malik berkinginan untuk memperluas Al-Haram Nabawi yang mulia. Rencana ini tidak bisa dilaksanakan tanpa membongkar masjid yang lama pada ke empat arahnya dan menggusur rumah istri-istri Nabi untuk perluasan.
Persoalan ini rentan dengan perpecahan antara kaum muslimin dan menyakiti perasaan mereka. Mengingat hal ini, maka khalifah menulis surat kepada Umar bin Abdul Aziz, wali Madinah,  yang isinya sebagai berikut:
“Saya memandang perlunya memperluas Masjid Nabawi Asy-Syarif sampai 200 hasta persegi. Untuk kebutuhan ini, keempat dindingnya perlu dirobohkan dan rumah istri-istri nabi terpaksa kena perluasan. Selain itu rumah-rumah yang ada di sekitarnya perlu dibeli dan kiblatnya dimajukan kalau bisa. Anda mampu mewujudkan hal itu, mengingat kedudukan Anda di antara paman-paman Anda adalah keturunan Ibnu Khattab dan besarnya pengaruh mereka di masyarakat.
Jika penduduk Madinah menolaknya, Anda bisa minta bantuan kepada Al-Qasim bin Salim bin Abdullah. Sertakan keduanya dalam rencana pemugaran dan perluasan ini. Jangan lupa, bayarlah ganti rugi rumah-rumah rakyat dengan harga setinggi mungkin. Bagi Anda pahal yang baik seperti apa yang dilakukan Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan.”
Dengan segera, gubernu Madinah Umar bin Abdul Aziz mengundang Al-Qasim bin Muhammad bin Salim bin Abdullah bin Umar dan para pemuka kaum muslimin Madinah. Kepada mereka dibacakan surat perintah khalifah yang baru saja diterima. Ternyata mereka gembira dengan apa yang direncanakan oleh khalifah dan siap sedia untuk mendukung rencana itu.
Demi melihat imam-imam dan ulama mereka turun tangan sendiri melaksanakan pemugaran masjid, penduduk Madinah secara serentak turut membantu dan melaksanakan sebagaimana yang diperintahkan amirul mukminin dalam suratnya.
Di tempat lain, pasukan muslimin terus mendapatkan kemenangan gemilang. Mereka berhasil menjatuhkan benteng-benteng musuh di Konstantinopel dan merebut kota demi kota di bawah pimpinan komandan yang tangkas dan pemberani, Maslamah bin Abdul Malik bin Marwan. Ini adalah awal terbukanya konstantinopel.
Kaisar Romawi mendengar rencana pemugaran dan perluasan masjid Nabawi, maka dia ingin menyenangkan dan mengambil hati Amirul Mukminin. Dikirimnya 100 kilogram emas murni disertai 100 arsitek dari romawi dan membawa ubin-ubin marmer yang indah. Bantuan tersebut dikirimkan  oleh Al-Walid kepada Umar bin Abdul Aziz. Wali Madinah itu mau memanfaatkannya setelah terlebih dahulu bermusyawarah dengan Al-Qasim bin Muhammad.
Alangkah miripnya Al-Qasim dengan kakeknya, Abu Bakar Ash-Shidiq, sampai orang-orang berkomentar, “Tidak ada anak keturunan Abu Bakar yang lebih mirip dengan beliau dari Al-Qasim. Dia begitu serupa dalam akhlak, bentuk fisik, keteguhan iman maupun kezuhudannya…” dan banyak sekali sikap dan perbuatannya membuktikan hal ini.
Sebagai contoh, ketika ada seorang dusun datang ke masjid lalu bertanya kepada beliu, “Siapakah yang lebih pandai, Anda ataukah Salim bin Abdullah?” Al-Qasim berpura-pura sibuk sehingga si penanya mengulangi pertanyaannya. Beliau menjawab, “Subhanallah.”
Pertanyaan itu diulang untuk ketiga kalinya, lalu Al-Qasim berkata, “Itu dia, Salim putra bibiku duduk di sebelah sana.” Orang-orang di masjid itu saling berbisik, “Sungguh mirip dia dengan kakeknya. Dia tidak suka atau sangat benci untuk berkata, “Aku lebih pandai,” karena hal itu berarti menyombongkan diri. Namun dia tidak pula berkata, “Dia lebih pandai,” sebab itu berarti dusta, mengingat sebenarnya dia lebih pandai daripada Salim.
Suatu ketika, di Mina terlihat para jama’ah haji ke Baitullah berdatangan dari segala penjuru negeri dan mereka bertanya agama kepada Al-Qasim. Beliau menjawab sebatas apa yang beliau ketahui. Kepada mereka yang menanyakan masalah yang dia tidak mengetahuinya, tanpa rasa malu beliau berkata, “Aku tidak tahu…aku tidak mengerti…aku tidak tahu.” Nampaknya orang-orang heran dan penasaran dengan jawaban tersebut, maka beliau menegaskan kepada mereka, “Aku tidak tahu apa yang kalian tanyakan itu. Seandainya aku tahu, tentu tidak akan aku sembunyikan. Sungguh seseorang hidup dalam keadaan bodoh, selain berma’rifah kepada hak-hak Allah, adalah lebih baik daripada seseorang mengatakan apa yang tidak dia ketahui ilmunya.”
Pernah pula ketika beliau ditugaskan untuk membagikan harta sedekah kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Maka bleiau melaksanakan sebaik mungkin dan memberikan bagian  kepada yang benar-benar berhak atasnya.
Namun ada satu orang yang tidak puas dengan bagiannya dan mendatanginya di masjid. Beliau tengah melaksanakan shalat ketika orang itu datang dan berbicara soal harta sedekah. Putra Al-Qasim  yang mendengarnya dengan dongkol berkata, “Demi Alah engkau telah melemparkan tuduhan terhadap orang yang tidak sepeserpun mengambil bagian dari harta sedekah itu dan tidak makan walau sebutir kurma.”
Setelah menyelesaikan shalatnya, Al-Qasim menoleh kepada putranya dan berkata, “Wahai putraku, mulai hari ini janganlah engkau berbicara tentang masalah yang tidak engkau ketahui.”
Orang-orang berkata, “Apa yang diakatakan anaknya memang benar, namun beliau ingin mendidik putranya agar menjaga lidah dalam mencampuri urusan orang lain. Al-Qasim bin Muhammad hidup sampai usia 72 tahun, menjadi buat di hari tuanya. Dalam usianya yang lanjut, beliau menju Makkah untuk naik haji, dalam perjalanan inilah beliau wafat.”
Ketika beliau merasa ajalnya telah dekat, beliau berpesan kepada putranya, “Bila aku mati, kafanilah aku dengan pakaian yang aku pakai untuk shalat. Gamisku, kainku dan surbanku. Seperti itulah kafan kakekmu, Abu Bakar ash-Shidiq. Kemudian ratakanlah makamku dan segera kembalilah kepada keluargamu. Jangan engkau berdiri di atas kuburanku seraya berkata, “Dia dulu begini dan begitu…karena aku bukanlah apa-apa.”
Sumber: Buku “Mereka Adalah Para Tabi’in”, Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya, Pustaka At-Tibyan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar