I. PENDAHUUAN
A. Latar
Belakang
Indonesia sebagai negara
agraris memiliki area pertanian yang cukup luas, namun hingga sekarang
permasalahan tentang hama pertanian masih belum dapat teratasi dengan baik.
Beberapa solusi telah diupayakan seperti penggunaan zat antihama. Untuk
membasmi hama berupa insekta digunakan insektisida. Beberapa metode untuk
membasmi insekta yang merusak tanaman dapat digunakan insektisida berupa zat
kimia. Dari metode tersebut muncul kendala-kendala yaitu mahalnya harga bahan,
mampu menimbulkan resistensi terhadap hama dan dosis yang digunakan akan terus bertambah
serta kadang tidak aman bagi tubuh manusia.
B. Permasalahan
Dinas Kehutanan Kabupaten Sleman Provinsi
Daerah Istimawa Yogyakarta merupakan suatu instansi yang memproduksi
kultur-kultur murni kapang yang digunakan sebagai agen hayati untuk mereduksi
pengaruh hama pada tanaman sehingga produksi pertanian akan meningkat.
Hal ini memunculkan masalah sebagai berikut :
a.
Bagaimanakah
prosedur
pembuatan kultur murni jamur benang yang diproduksi ?
b.
Bagaimanakah keefektifitasan agen hayati
disbanding zat kimia pengeendali hama?
C. Tujuan
Secara
umum mata kuliah kerja praktek ini bertujuan untuk mengenalkan kepada mahasiswa
tentang kondisi kerja sesungguhnya. Adapun tujuan khusunya adalah untuk
mengetahui prosedur pembuatan kultur murni jamur benang yang diproduksi dan
keefektifitasan agen hayati disbanding zat kimia pengendali hama.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Fungi (jamur) telah lama dikenal oleh manusia, bahkan sudah dimanfaatkan
sebagai bahan atau penyedap makanan, sebagai obat, atau untuk memperoleh aneka
makanan atau minuman fermentasi. Fungi makroskopis yang memiliki tubuh buah
yang besar yang sekarang dikenal sebagai makrofungi sudah dihidangkan pada
pesta-pesta raja atau kaisar zaman Yunani kuno. Penemuan mikroskop oleh Antonie
van Leeuwenhoek di abad-17 telah mengungkap lebih banyak lagi bagian-bagian
yang tidak terlihat sebelumnya.
Hingga sekarang mikrobia telah dimanfaatkan dalam berbagai bidang antara
lain pada Mikrobiologi Terapan (Applied Microbiology) yang meliputi Mikrobiologi
Industri, Mikrobiologi Pangan, dan Bioteknologi, Mikrobiologi Lingkungan
(Environmental Microbiology) yang meliputi Mikrobiologi Pertanian, Mikrobiologi
Lingkungan. Mikrobiologi Kesehatan: (Medical Microbiology) meliputi Imunologi, Mikrobiologi
Diagnostik, dan Mikrobiologi Farmasi
Di Indonesia, campur tangan manusia terhadap hutan
telah berjalan dan terus berkembang. Campur tangan manusia tersebut, salah
satunya dipicu oleh perkembangan dan kemajuan teknologi dalam pembalakan,
pengolahan hasil hutan, serta peningkatan kebutuhan hasil hutan di pasaran.
Bentuk campur tangan manusia yang penting terhadap perkembangan hutan adalah
mengenai metode baru yang diterapkan dalam prinsip pengelolaan hutan, untuk
mengatasi permasalahan yang ada tanpa meninggalkan kaídah lingkungan. Pengendalian penyakit tanaman kehutanan di indonesia
masih mengandalkan metode konvensional seperti penggunaan fungisida.
Mikoinsektisida merupakan salah satu bahan pembunuh
serangga yang bahan bakunya
diambil terdiri dari cendawan serangga. Formula ini tergolong bioinsektisida
dan cendawan yang digunakan bersifat antagonistik terhadap serangga. Sejarah
telah membuktikan bahwa cendawan antagonis telah diketahui sejak 1879, dan
merupakan pelopor pengen-dalian hama dengan menggunakan mikroba, namun dalam
penelitian dan pengembangannya cendawan lebih lambat dibanding bakteri dan
virus. Cendawan yang mudah diperbanyak pada media buatan seperti Metarhizium
anisopliae dan Beauveria bassiana mempunya peluang yang cukup tinggi untuk
dijadikan miko-insektisida. Studi
kasus menunjukkan bahwa kedua jenis cendawan ini berhasil mengendalikan hama sasaran secara permanen. Aplikasi dan evaluasi tingkat keberhasilan
memerlukan cara spesifik sesuai ekobiologi hama sasaran. Teknik produksi dapat
dimodifikasi tergantung kebutuhan dan tingkat pemakaian di lapangan. Uraian tentang miko insektisida ini merupakan hasil
penelitian dan pengalaman yang telah dikembangkan selama 15 tahun.
Keefektifan
cendawan patogen serangga untuk mengendalikan hama, umur stadia hama, waktu
aplikasi, frekuensi
aplikasi, dan faktor lingkungan meliputi sinar ultra violet, curah hujan, dan
kelembaban (Widayat dan sasaran sangat
tergantung pada keragaman jenis isolat, kerapatan spora, kualitas media tumbuh,
jenis hama yang dikendalikan Rayati,
1993b; Sudarmadji dan Gunawan,1994;
Suprapto dan Suroso, 1999;Junianto 2000).
Faktor kandungan
toksin yang dihasilkan oleh cendawan dapat mempengaruhi keefektifan cendawan. Beberapatoksin
yang dihasilkan oleh B. bassiana adalah beauverisin, beauverolit,
bassianolit,isorolit dan asam oksalit. Daya kerja toksin tersebut adalah merusak jaringan atau
organ homosoel secara mekanis seperti saluran pencernaan, otot, sistem syaraf,
dan sistem pernafasan. Semua proses tersebut di atas menyebabkan kematian
serangga. Di samping asal isolat, jenis isolat juga mempengaruhi keefektifan
cendawan. B. Bassiana lebih efektif dibandingkan dengan Spicaria sp.
terhadap kepik D. hewetti. Faktor lain yang dapat mempengaruhi keefektifan
cendawan (Widayat dan Rayati 1993b;
Sudarmadji dan Gunawan, 1994; Suprapto dan Suroso, 1999; Junianto, 2000) adalah
kerapatan spora, kualitas media tumbuh cendawan; jenis hama yang dikendalikan,
umur stadia hama, waktu aplikasi, frekuensi aplikasi, dan lingkungan yang
meliputi sinar ultra violet, curah hujan, kelembaban, dan suhu.
Untuk itu dewasa ini
dicoba penerapan fungi (jamur benang) untuk mengatasi hama berupa insekta.
Jamur benang yang digunakan akan menghasilkan senyawa metabolit sekunder dan
ketika masuk ke dalam tubuh insekta akan mati. Metode ini relative lebih aman karena harga
yang tidak mahal, aman bagi tubuh manusia, dan lebih alami.
Beberapa spesies yang
telah digunakan dalam membasmi hama insektisida meliputi Metharizium sp.,
Spicaria sp., Beuveria basiiana, Beuveria zeuzera, dan Trichoderma sp
Beauveriia bassiana
Merupakan jamur benang
yang tumbuh alami pada tanah dan merupakan parasit pada bermacam-macam spesies
serangga. efek yang ditimbulkan adalah white muscardine disease. jadi merupakan
entomopathogenic fungi. biasa digunakan sebagai agen ahyati pengontrol
serangga. juga untuk mengontrol perkembangan nyamuk penyebab penyakit malaria (
Anopheles). koloni spesies ini berwarna putih. berupa koloni kering, spora
berbentuk bola. kapang ini jarang menginfeksi manusia atau hewan lain.sehingga
aman jika digunakan sebagai insektisida.
Trichoderma
spp.
Marga
trichoderma umum dijumpai di tanah, kayu lapuk, dan bahan bahan tumbuhan.Jenis Trichoderma
spp.sering dijumpai sebagai microflora tanah yang dominan pada berbagai
macam habitat dalam kisaran luas. Hal ini di duga berkaitan dengan kemampuan
metabolisme Trichoderma spp. yang beragam dan berkompetesi secara aktif.
Kelebihan
pengendalian hayati dibandingkan dengan cara kimiawi adalah :
1.
Tidak menyebabkan resistensi pathogen,
2.
Tidak menimbulkan pencemaran lingkungan,
3.
Terjaganya keseimbangan biologi,
4. Satu aplikasi berhasil akan mempunyai
efek pengendalian yang lama (Cook dan Baker, 1989)
III. METODE
1.
Tempat
pelaksanaan
Kerja praktek ini akan dilaksanakan di Dinas Kehutanan
Kabupaten Sleman Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
2.
Waktu
pelaksanaan
Kerja praktek ini akan dilaksanakan pada
15
September 2008 sampai dengan 27 September 2008.
3.
Metode
pelaksanaan
Metode pelaksanaan kerja praktek dengan cara sebagai
berikut
a.
Observasi
Observasi
dilakukan dengan pengamatan langsung prosedur pembuatan kultur murni tiap
spesies kapang hingga pemasaran.
b.
Magang
Magang dilakukan
dengan ikut berperan langsung dalam kegiatan kerja di Dinas Kehutanan Kabupaten
Sleman Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
a.
Pemeliharaan biakan murni
Kapang yang sudah diisolasi , diuji
kemurniaannya, kemudian ditanam dalam tabung reaksi berisi medium yang sesuai
yang sudah diberi label ( nama, nomor, tanggal, medium dan keterangan lain yang
dianggap perlu) Kapang tersebut diinkubasikan pada suhu yang tepat. Biakan
sedapat mungkin dibiarkan bersporulasi dengan lebat. Sesudah kapang
diindentifikasi, dan akan disimpan, maka ada tiga langkah/perlakuan yang umum
diberikan , yaitu:
a)
Biakan dismpan di dalam lemari es pada
suhu 4°-10°C. Cara ini adalah cara yang paling mudah,akan tetapi peremajaan
harus dilakukan lebih sering dibandingkan cara-cara lain.
b)
Biakan disimpan dalam paraffin cair yang
steril yang manutupi seluruh permukaan biakan. Peremajaan tidak perlu sering
dilakukan, yaitu dapat dua tahun sekali atau bahkan lebih.
c)
Biakan diliofilisasi.
b.
Prosedur pembuatan kultur kapang
Tiap
kultur (F0) dari berbagai spesies disimpan dalam lemari es (suhu 4°-10°C)
pada medium Potato Dextrosa Agar (PDA). Peralatan yang digunakan meliputi
peralatan pembibitan dan pemeliharaan. Peralatan yang digunakan dalam
pembibitan adalh tabung reaksi, rak penyimpanan, meja pembiakan atau laminair
flow, lampu spirtus, kipas angin,pinset panjang dan alat sterilisasi.
Setelah itu masing-masing kultur diambil
sporanya untuk ditumbuhkan pada medium jagung atau dedak sehingga akan
terbentuk F1. Turunan pertama (F1) Pembiakan tahap ini
merupakan pembiakan spora jamur. Langkah awal adalah mempersiapkan peralatan,
media tumbuh dan ruangan inokulasi. Peralatan yang digunakan meliputi tabung reaksi , rak penyimpanan, kantong
plastik, tali karet, lampu spirtus, kapas, autoclave, dan meja pembiakan. Meja
pembiakan merupakan unit peralatan yang dilengkapi dengan lampu neon, alat pengatur
suhu, sirkulasi udara, dan filter udara ruangan pembiakan.
Media tumbuh yang biasa digunakan yaitu
bahan alami berupa jagung, kentang dalam
bentuk ekstrak dan rebusan.Bahan semi sintetis adalah campuran
kentang-Dektrosa-agar. Penyiapan media tumbuh dimulai dengan pencucian dan
perebusan kentang. Sebanyak 200 gram kentang segar dibersihkan dan dicuci
dengan air bersih, kemudian diiris-iris (dicacah) dan dicuci lagi
berulang-ulang sampai air bekas cuciannya tampak jernih. Kemudian iris-irisan kentang
dibilas lagi dengan aquadest. Iris-irisan tersebut kemudian direbus dalam
700-1000 ml air selama 1 jam sehingga airnya menyusut tinggal 500-600 ml.
Kemudian, air rebusan (ekstrak) ini disaring dengan dengan kain flannel dan
ditampung dalam botol. Tambahkan beberapa milliliter air pada ekstrak sehingga
volume mencapai 1000 ml. Tambahkan 9-15 gram tepung agar dan 10-20 gram
dextrose, kemudian diaduk-aduk dan direbus dalam autoclave selama 15 menit pada
tekanan 15 lbs.
Selesai perebusan langsung dilakukan
pendinginan. Kemudian , media tumbuh yang telah dingin ditaruh dalam ruangan
inokulasi dan segera dimasukkan dalam
tabung reaksi pembiakan. Setiap 1 liter media tumbuh buatan tersebut dapat
digunakan sebagai media tumbuh biakan murni sebanyak 150-200 tabung biakan.
Media tumbuh buatan ini segera digunakan sehingga memperkecil resiko
terkontaminasi. Jika masih ada sisa media biakan , media biakan tersebut harus
disimpan dalam suhu dingin di dalam ruangan yang steril.
c.
Pembiakan tahap pertama F1
Kemudian
dimasukkan satu sendok makan media tumbuh dalam tabung reaksi, kemudian sumbat
dengan kapas. Sumbatan kapas diluar tabung reaksi dibalut dengan kertas Loyang
dan diikat dengan tali karet. Selanjutnya, tabung-tabung reaksi yang telah berisi
media tumbuh dimasukkan dalam autoclave atau alat sterilisasi untuk dilakukan
sterilisasi pada suhu 125°C selama 1 jam. Kemudian tabung reaksi dibiarkan
selama beberapa jam agar dingin. Langkah selanjutnya adalah inokulasi
(penanaman bibit). Selanjutnya kapas penyumbat tabung reaksi dibuka dan ujung
mulutnya dibakar diatas lampu spirtus selama 1-2 detik kemudian dengan jarum enten spora jamur ditanam dalam media
biakan. Kemudian tabung reaksi disumbat kembali dan diletakkan dalam rak
penyimpanan di dalam ruang steril, dan dibiarkan selama 3-4 hari hingga tumbuh
konidiofor berwarna putih bentuk bulat atau oval. Selanjutnya biakan yang
tumbuh disimpan lagi dalam ruangan inokulasi hingga tumbuh semua koloni
memenuhi media tumbuh, biakan ini selanjutnya digunakan sebagai bibit pada
pembiakan tahap kedua.
d.
Pembiakan tahap kedua
Meliputi persiapan peralatan dan media
tumbuh. Peralatan meiputi kantong plastik , tali karet, dan autoclave. Media
tumbuh berupa iris-irisan biji jagung
yang sudah direbus. Media tumbuh dalam F2 ini sudah mengandung unsure C dalam
bentuk karbohidrat dalam kandungan yang cukup tinggi. Penggunaan media biji
jagung rebus digunakan karena cukup praktis, penyediaannya mudah dan harganya
relative murah dan mengandung nutrisi yang baik, media ini dipersiapkan dengan
memilih biji jagung yang masih baik kemudin dicuci hingga bersih kemudian
diiris-iris atau dihancurkan namun tidak sampai hancur atau masih kasar,
kemudian biji di rebus hingga matang lebih kurang 45 menit hingga biji jagung
menjadi empuk. Setelah matang ditunggu hingga dingin kemudian dimasukkan biji
jagung rebus tadi ke dalam plastik ukuran 200 ml dan diisi setengahnya dengan
biji jagung rebus tadi, proses ini dilakukan didalam meja pembiakan ( laminar
flow) Dengan menggunakan jarum enten biakan dari tabung reaksi yaitu F1 ditanam
di media jagung rebus dalam plastik Cara pengambilan biakan dari F1 juga dengan
steril dimana kapas penyumbat dibakar dan kemudian dicabut kemudian mulut
tabung reaksi di panggang di atas lampu spirtus selama 5 detik setiap biakan F1 dapat digunakan sebagai
bibit pembiakan F2 sebanyak 15-20 plastik, kemudian plastik di ikat dengan
karet. Setelah itu kultur
dinkubasikan selama kurang lebih 15 hari. Setelah inkubasi kultur dapat
diekstrak dan dibuat suspensi untuk langsung digunakan di lapangan. Medium
jagung dan dedak yang digunakan harus dalam keadaan steril. Sterilisasi jagung
dan dedak dapat dilakukan melalui autoclave. Selain itu itu juga dapat
digunakan dengan cara konvensional yaitu dengan mengkukus dalam jangka waktu
tertentu.
IV. Daftar Pustaka
Hawkswort D. L, B. E Kirsop, S. C Jong
J. I pitt, R. A Samson, and Tubaki. 1988. Filamentous Fungi. Cambride
University Press. Cambridge,
Gandjar, I, W.
Sjamsuridzal, dan A. Oetari. 2006. Mikologi, Dasar dan Terapan. Yayasan
Obor Indonesia. Jakarta, halaman
Widyastuti, S. M. 2007.
Peran Trichoderma spp. Dalam Revitalisasi kehutanan di Indonesia. Gadjah
Mada University Press. Yogyakarta, halaman
Dharmaputra, O. S., A.
W., Gunawan, dan Nampiah. 1989.Penuntun Praktikum Mikologi Dasar.
Departemen Pendidikan dan kebudayaan Direktorat Jnederal Pendidikan Tinggi.
Jakarta, halaman
Alexopoulos, C. J.
1958. Introduction Micology. John Wiley and Sons, Inc. New York.pp
Disusun oleh :
Lukman Hakim Al Maliki 05/187179/BI/07710
Feridya Kurniawan
05/85614/BI/07651
Muhammad Hafid Masruri 05/190127/07741
FAKULTAS BIOLOGI
UNIVERSITAS
GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar