Rabu, 25 Maret 2015

Kapang sebagai agen hayati (laporan kuliah praktek) Feridya Kurniawan



I. PENDAHUUAN
A.        Latar Belakang
Indonesia sebagai negara agraris memiliki area pertanian yang cukup luas, namun hingga sekarang permasalahan tentang hama pertanian masih belum dapat teratasi dengan baik. Beberapa solusi telah diupayakan seperti penggunaan zat antihama. Untuk membasmi hama berupa insekta digunakan insektisida. Beberapa metode untuk membasmi insekta yang merusak tanaman dapat digunakan insektisida berupa zat kimia. Dari metode tersebut muncul kendala-kendala yaitu mahalnya harga bahan, mampu menimbulkan resistensi terhadap hama dan dosis yang digunakan akan terus bertambah serta kadang tidak aman bagi tubuh manusia.
B.        Permasalahan
Dinas Kehutanan Kabupaten Sleman Provinsi Daerah Istimawa Yogyakarta  merupakan suatu instansi yang memproduksi kultur-kultur murni kapang yang digunakan sebagai agen hayati untuk mereduksi pengaruh hama pada tanaman sehingga produksi pertanian akan meningkat.
Hal ini memunculkan masalah sebagai berikut :
a.                   Bagaimanakah prosedur pembuatan kultur murni jamur benang yang diproduksi ?
b.                  Bagaimanakah keefektifitasan agen hayati disbanding zat kimia pengeendali hama?

C.        Tujuan
Secara umum mata kuliah kerja praktek ini bertujuan untuk mengenalkan kepada mahasiswa tentang kondisi kerja sesungguhnya. Adapun tujuan khusunya adalah untuk mengetahui prosedur pembuatan kultur murni jamur benang yang diproduksi dan keefektifitasan agen hayati disbanding zat kimia pengendali hama.
II.        TINJAUAN PUSTAKA
Fungi (jamur) telah lama dikenal oleh manusia, bahkan sudah dimanfaatkan sebagai bahan atau penyedap makanan, sebagai obat, atau untuk memperoleh aneka makanan atau minuman fermentasi. Fungi makroskopis yang memiliki tubuh buah yang besar yang sekarang dikenal sebagai makrofungi sudah dihidangkan pada pesta-pesta raja atau kaisar zaman Yunani kuno. Penemuan mikroskop oleh Antonie van Leeuwenhoek di abad-17 telah mengungkap lebih banyak lagi bagian-bagian yang tidak terlihat sebelumnya.
Hingga sekarang mikrobia telah dimanfaatkan dalam berbagai bidang antara lain pada Mikrobiologi Terapan (Applied Microbiology) yang meliputi Mikrobiologi Industri, Mikrobiologi Pangan, dan Bioteknologi, Mikrobiologi Lingkungan (Environmental Microbiology) yang meliputi Mikrobiologi Pertanian, Mikrobiologi Lingkungan. Mikrobiologi Kesehatan: (Medical Microbiology) meliputi Imunologi, Mikrobiologi Diagnostik, dan Mikrobiologi Farmasi
Di Indonesia, campur tangan manusia terhadap hutan telah berjalan dan terus berkembang. Campur tangan manusia tersebut, salah satunya dipicu oleh perkembangan dan kemajuan teknologi dalam pembalakan, pengolahan hasil hutan, serta peningkatan kebutuhan hasil hutan di pasaran. Bentuk campur tangan manusia yang penting terhadap perkembangan hutan adalah mengenai metode baru yang diterapkan dalam prinsip pengelolaan hutan, untuk mengatasi permasalahan yang ada tanpa meninggalkan kaídah lingkungan. Pengendalian penyakit tanaman kehutanan di indonesia masih mengandalkan metode konvensional seperti penggunaan fungisida.
Mikoinsektisida merupakan salah satu bahan pembunuh serangga yang bahan bakunya diambil terdiri dari cendawan serangga. Formula ini tergolong bioinsektisida dan cendawan yang digunakan bersifat antagonistik terhadap serangga. Sejarah telah membuktikan bahwa cendawan antagonis telah diketahui sejak 1879, dan merupakan pelopor pengen-dalian hama dengan menggunakan mikroba, namun dalam penelitian dan pengembangannya cendawan lebih lambat dibanding bakteri dan virus. Cendawan yang mudah diperbanyak pada media buatan seperti Metarhizium anisopliae dan Beauveria bassiana mempunya peluang yang cukup tinggi untuk dijadikan miko-insektisida. Studi kasus menunjukkan bahwa kedua jenis cendawan ini berhasil mengendalikan hama sasaran secara permanen.  Aplikasi dan evaluasi tingkat keberhasilan memerlukan cara spesifik sesuai ekobiologi hama sasaran. Teknik produksi dapat dimodifikasi tergantung kebutuhan dan tingkat pemakaian di lapangan. Uraian tentang miko insektisida ini merupakan hasil penelitian dan pengalaman yang telah dikembangkan selama 15 tahun. 
Keefektifan cendawan patogen serangga untuk mengendalikan hama, umur stadia hama, waktu aplikasi, frekuensi aplikasi, dan faktor lingkungan meliputi sinar ultra violet, curah hujan, dan kelembaban (Widayat dan sasaran sangat tergantung pada keragaman jenis isolat, kerapatan spora, kualitas media tumbuh, jenis hama yang dikendalikan Rayati, 1993b; Sudarmadji dan Gunawan,1994; Suprapto dan Suroso, 1999;Junianto 2000).
Faktor kandungan toksin yang dihasilkan oleh cendawan dapat mempengaruhi keefektifan cendawan. Beberapatoksin yang dihasilkan oleh B. bassiana adalah beauverisin, beauverolit, bassianolit,isorolit dan asam oksalit. Daya kerja toksin tersebut adalah merusak jaringan atau organ homosoel secara mekanis seperti saluran pencernaan, otot, sistem syaraf, dan sistem pernafasan. Semua proses tersebut di atas menyebabkan kematian serangga. Di samping asal isolat, jenis isolat juga mempengaruhi keefektifan cendawan. B. Bassiana lebih efektif dibandingkan dengan Spicaria sp. terhadap kepik D. hewetti. Faktor lain yang dapat mempengaruhi keefektifan cendawan (Widayat dan Rayati 1993b; Sudarmadji dan Gunawan, 1994; Suprapto dan Suroso, 1999; Junianto, 2000) adalah kerapatan spora, kualitas media tumbuh cendawan; jenis hama yang dikendalikan, umur stadia hama, waktu aplikasi, frekuensi aplikasi, dan lingkungan yang meliputi sinar ultra violet, curah hujan, kelembaban, dan suhu.
Untuk itu dewasa ini dicoba penerapan fungi (jamur benang) untuk mengatasi hama berupa insekta. Jamur benang yang digunakan akan menghasilkan senyawa metabolit sekunder dan ketika masuk ke dalam tubuh insekta akan mati.  Metode ini relative lebih aman karena harga yang tidak mahal, aman bagi tubuh manusia, dan lebih alami.
Beberapa spesies yang telah digunakan dalam membasmi hama insektisida meliputi Metharizium sp., Spicaria sp., Beuveria basiiana, Beuveria zeuzera, dan Trichoderma sp
Beauveriia bassiana
Merupakan jamur benang yang tumbuh alami pada tanah dan merupakan parasit pada bermacam-macam spesies serangga. efek yang ditimbulkan adalah white muscardine disease. jadi merupakan entomopathogenic fungi. biasa digunakan sebagai agen ahyati pengontrol serangga. juga untuk mengontrol perkembangan nyamuk penyebab penyakit malaria ( Anopheles). koloni spesies ini berwarna putih. berupa koloni kering, spora berbentuk bola. kapang ini jarang menginfeksi manusia atau hewan lain.sehingga aman jika digunakan sebagai insektisida.
Trichoderma spp.
Marga trichoderma umum dijumpai di tanah, kayu lapuk, dan bahan bahan tumbuhan.Jenis Trichoderma spp.sering dijumpai sebagai microflora tanah yang dominan pada berbagai macam habitat dalam kisaran luas. Hal ini di duga berkaitan dengan kemampuan metabolisme Trichoderma spp. yang beragam dan berkompetesi secara aktif.
Kelebihan pengendalian hayati dibandingkan dengan cara kimiawi adalah :
1. Tidak menyebabkan resistensi pathogen,
2. Tidak menimbulkan pencemaran lingkungan,
3. Terjaganya keseimbangan biologi,
4. Satu aplikasi berhasil akan mempunyai efek pengendalian yang lama (Cook dan Baker, 1989)
III.       METODE
1.                  Tempat pelaksanaan
Kerja praktek ini akan dilaksanakan di Dinas Kehutanan Kabupaten Sleman Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
2.                  Waktu pelaksanaan
Kerja praktek ini akan dilaksanakan pada 15 September 2008 sampai dengan  27 September 2008.
3.                  Metode pelaksanaan
Metode pelaksanaan kerja praktek dengan cara sebagai berikut
a.       Observasi
Observasi dilakukan dengan pengamatan langsung prosedur pembuatan kultur murni tiap spesies kapang hingga pemasaran.
b.      Magang
Magang dilakukan dengan ikut berperan langsung dalam kegiatan kerja di Dinas Kehutanan Kabupaten Sleman Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.


a.       Pemeliharaan biakan murni
            Kapang yang sudah diisolasi , diuji kemurniaannya, kemudian ditanam dalam tabung reaksi berisi medium yang sesuai yang sudah diberi label ( nama, nomor, tanggal, medium dan keterangan lain yang dianggap perlu) Kapang tersebut diinkubasikan pada suhu yang tepat. Biakan sedapat mungkin dibiarkan bersporulasi dengan lebat. Sesudah kapang diindentifikasi, dan akan disimpan, maka ada tiga langkah/perlakuan yang umum diberikan , yaitu:
a)      Biakan dismpan di dalam lemari es pada suhu 4°-10°C. Cara ini adalah cara yang paling mudah,akan tetapi peremajaan harus dilakukan lebih sering dibandingkan cara-cara lain.
b)      Biakan disimpan dalam paraffin cair yang steril yang manutupi seluruh permukaan biakan. Peremajaan tidak perlu sering dilakukan, yaitu dapat dua tahun sekali atau bahkan lebih.
c)      Biakan diliofilisasi.
b.      Prosedur pembuatan kultur kapang
Tiap kultur (F0) dari berbagai spesies disimpan dalam lemari es (suhu 4°-10°C) pada medium Potato Dextrosa Agar (PDA). Peralatan yang digunakan meliputi peralatan pembibitan dan pemeliharaan. Peralatan yang digunakan dalam pembibitan adalh tabung reaksi, rak penyimpanan, meja pembiakan atau laminair flow, lampu spirtus, kipas angin,pinset panjang dan alat sterilisasi.
      Setelah itu masing-masing kultur diambil sporanya untuk ditumbuhkan pada medium jagung atau dedak sehingga akan terbentuk F1. Turunan pertama (F1) Pembiakan tahap ini merupakan pembiakan spora jamur. Langkah awal adalah mempersiapkan peralatan, media tumbuh dan ruangan inokulasi. Peralatan yang digunakan meliputi  tabung reaksi , rak penyimpanan, kantong plastik, tali karet, lampu spirtus, kapas, autoclave, dan meja pembiakan. Meja pembiakan merupakan unit peralatan yang dilengkapi dengan lampu neon, alat pengatur suhu, sirkulasi udara, dan filter udara ruangan pembiakan.
      Media tumbuh yang biasa digunakan yaitu bahan alami berupa jagung, kentang  dalam bentuk ekstrak dan rebusan.Bahan semi sintetis adalah campuran kentang-Dektrosa-agar. Penyiapan media tumbuh dimulai dengan pencucian dan perebusan kentang. Sebanyak 200 gram kentang segar dibersihkan dan dicuci dengan air bersih, kemudian diiris-iris (dicacah) dan dicuci lagi berulang-ulang sampai air bekas cuciannya tampak jernih. Kemudian iris-irisan kentang dibilas lagi dengan aquadest. Iris-irisan tersebut kemudian direbus dalam 700-1000 ml air selama 1 jam sehingga airnya menyusut tinggal 500-600 ml. Kemudian, air rebusan (ekstrak) ini disaring dengan dengan kain flannel dan ditampung dalam botol. Tambahkan beberapa milliliter air pada ekstrak sehingga volume mencapai 1000 ml. Tambahkan 9-15 gram tepung agar dan 10-20 gram dextrose, kemudian diaduk-aduk dan direbus dalam autoclave selama 15 menit pada tekanan 15 lbs.
      Selesai perebusan langsung dilakukan pendinginan. Kemudian , media tumbuh yang telah dingin ditaruh dalam ruangan inokulasi dan segera dimasukkan  dalam tabung reaksi pembiakan. Setiap 1 liter media tumbuh buatan tersebut dapat digunakan sebagai media tumbuh biakan murni sebanyak 150-200 tabung biakan. Media tumbuh buatan ini segera digunakan sehingga memperkecil resiko terkontaminasi. Jika masih ada sisa media biakan , media biakan tersebut harus disimpan dalam suhu dingin di dalam ruangan yang steril.


c.       Pembiakan tahap pertama F1
Kemudian dimasukkan satu sendok makan media tumbuh dalam tabung reaksi, kemudian sumbat dengan kapas. Sumbatan kapas diluar tabung reaksi dibalut dengan kertas Loyang dan diikat dengan tali karet. Selanjutnya, tabung-tabung reaksi yang telah berisi media tumbuh dimasukkan dalam autoclave atau alat sterilisasi untuk dilakukan sterilisasi pada suhu 125°C selama 1 jam. Kemudian tabung reaksi dibiarkan selama beberapa jam agar dingin. Langkah selanjutnya adalah inokulasi (penanaman bibit). Selanjutnya kapas penyumbat tabung reaksi dibuka dan ujung mulutnya dibakar diatas lampu spirtus selama 1-2 detik kemudian dengan  jarum enten spora jamur ditanam dalam media biakan. Kemudian tabung reaksi disumbat kembali dan diletakkan dalam rak penyimpanan di dalam ruang steril, dan dibiarkan selama 3-4 hari hingga tumbuh konidiofor berwarna putih bentuk bulat atau oval. Selanjutnya biakan yang tumbuh disimpan lagi dalam ruangan inokulasi hingga tumbuh semua koloni memenuhi media tumbuh, biakan ini selanjutnya digunakan sebagai bibit pada pembiakan tahap kedua.

d.      Pembiakan tahap kedua
      Meliputi persiapan peralatan dan media tumbuh. Peralatan meiputi kantong plastik , tali karet, dan autoclave. Media tumbuh berupa iris-irisan biji  jagung yang sudah direbus. Media tumbuh dalam F2 ini sudah mengandung unsure C dalam bentuk karbohidrat dalam kandungan yang cukup tinggi. Penggunaan media biji jagung rebus digunakan karena cukup praktis, penyediaannya mudah dan harganya relative murah dan mengandung nutrisi yang baik, media ini dipersiapkan dengan memilih biji jagung yang masih baik kemudin dicuci hingga bersih kemudian diiris-iris atau dihancurkan namun tidak sampai hancur atau masih kasar, kemudian biji di rebus hingga matang lebih kurang 45 menit hingga biji jagung menjadi empuk. Setelah matang ditunggu hingga dingin kemudian dimasukkan biji jagung rebus tadi ke dalam plastik ukuran 200 ml dan diisi setengahnya dengan biji jagung rebus tadi, proses ini dilakukan didalam meja pembiakan ( laminar flow) Dengan menggunakan jarum enten biakan dari tabung reaksi yaitu F1 ditanam di media jagung rebus dalam plastik Cara pengambilan biakan dari F1 juga dengan steril dimana kapas penyumbat dibakar dan kemudian dicabut kemudian mulut tabung reaksi di panggang di atas lampu spirtus selama 5 detik  setiap biakan F1 dapat digunakan sebagai bibit pembiakan F2 sebanyak 15-20 plastik, kemudian plastik di ikat dengan karet.         Setelah itu kultur dinkubasikan selama kurang lebih 15 hari. Setelah inkubasi kultur dapat diekstrak dan dibuat suspensi untuk langsung digunakan di lapangan. Medium jagung dan dedak yang digunakan harus dalam keadaan steril. Sterilisasi jagung dan dedak dapat dilakukan melalui autoclave. Selain itu itu juga dapat digunakan dengan cara konvensional yaitu dengan mengkukus dalam jangka waktu tertentu.









IV.          Daftar Pustaka

Hawkswort D. L, B. E Kirsop, S. C Jong J. I pitt, R. A Samson, and Tubaki. 1988. Filamentous Fungi. Cambride University Press. Cambridge,
Gandjar, I, W. Sjamsuridzal, dan A. Oetari. 2006. Mikologi, Dasar dan Terapan. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta, halaman
Widyastuti, S. M. 2007. Peran Trichoderma spp. Dalam Revitalisasi kehutanan di Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta, halaman
Dharmaputra, O. S., A. W., Gunawan, dan Nampiah. 1989.Penuntun Praktikum Mikologi Dasar. Departemen Pendidikan dan kebudayaan Direktorat Jnederal Pendidikan Tinggi. Jakarta, halaman
Alexopoulos, C. J. 1958. Introduction Micology. John Wiley and Sons, Inc. New York.pp














Disusun oleh :
Lukman Hakim Al Maliki  05/187179/BI/07710
Feridya Kurniawan  05/85614/BI/07651
Muhammad Hafid Masruri  05/190127/07741


FAKULTAS BIOLOGI
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2008


Tidak ada komentar:

Posting Komentar